![]() |
| Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso saat memberikan keterangan pers terkait peringatan HUT TNI. (Foto: Humas DPP LDII) |
Jakarta (4/10) – Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), KH Chriswanto Santoso, menegaskan bahwa tantangan bangsa Indonesia ke depan semakin kompleks. Tidak hanya ancaman militer konvensional, tetapi juga ancaman non-militer seperti perang siber, disinformasi, radikalisme, serta krisis energi dan pangan.
Dalam pernyataannya memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI) ke-80, KH Chriswanto menekankan bahwa TNI harus adaptif dan inovatif dalam menghadapi bentuk perang modern yang semakin dinamis.
“TNI harus tetap waspada, tidak boleh lengah, dan selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Profesionalisme harus berjalan beriringan dengan penguatan moral dan spiritual prajurit,” ujar KH Chriswanto Santoso, dikutip dari pernyataan resmi DPP LDII, Sabtu (4/10).Menurutnya, anggota TNI yang bertugas di wilayah konflik memerlukan penguatan iman dan takwa, agar tetap sabar serta berpegang pada hati nurani dalam menjalankan tugas, baik pada masa perang maupun damai.
KH Chriswanto menegaskan, sinergi antara TNI dan organisasi keagamaan sangat penting untuk memperkuat ketahanan bangsa.
“Kami berkomitmen mendukung TNI melalui pembinaan generasi muda agar berkarakter religius, nasionalis, dan cinta tanah air. Kekuatan bangsa tidak hanya ditentukan oleh alutsista modern, tetapi juga oleh akhlak, iman, dan moral rakyatnya,” tambahnya.Lebih lanjut, ia mengingatkan agar TNI selalu netral dan tegak lurus terhadap konstitusi, tidak berpihak pada kepentingan politik sesaat.
“TNI harus netral, tegak lurus pada UUD 1945, dan menjadi pengawal demokrasi. Kesetiaan TNI hanya kepada rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas KH Chriswanto.Refleksi 80 Tahun TNI: Dari Garda Rakyat ke Militer Modern
Sementara itu, Ketua DPP LDII sekaligus Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, menilai HUT TNI ke-80 merupakan momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang TNI sejak berdirinya pada 5 Oktober 1945 hingga kini menjadi institusi pertahanan modern.
Menurut Prof. Singgih, sejarah TNI mencatat perjalanan transformasi besar:
- 1945–1949, masa revolusi mempertahankan kemerdekaan.
- 1950–1965, konsolidasi dan penumpasan pemberontakan.
- 1966–1998, masa Orde Baru dengan dwifungsi militer.
- Pasca 1998, reformasi menuju profesionalisme dan netralitas.
“Sekarang TNI bergerak menuju militer profesional yang modern melalui modernisasi alutsista, peningkatan kualitas SDM, dan keterlibatan dalam diplomasi pertahanan global,” jelas Prof. Singgih.Tema HUT TNI tahun ini, yang menekankan Profesionalisme, Modernisasi, dan Kedekatan dengan Rakyat, dinilai sangat relevan dengan jati diri TNI yang lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat.
“Profesionalisme berarti netralitas politik dan peningkatan kualitas prajurit. Modernisasi adalah syarat menghadapi ancaman baru. Sedangkan kedekatan dengan rakyat menegaskan jati diri historis TNI,” ungkapnya.Prof. Singgih juga menyoroti visi PRIMA (Profesional, Responsif, Integratif, Modern, Adaptif) sebagai cerminan karakter TNI di era modern.
“Watak integratif TNI terbukti menjaga keutuhan NKRI. Kini, dengan tantangan global seperti ancaman siber dan geopolitik Indo-Pasifik, TNI harus semakin modern dan adaptif,” tambahnya.Ia menutup dengan pesan kepada generasi muda agar memahami sejarah perjuangan TNI.
“Generasi muda harus sadar bahwa mereka bagian dari mata rantai panjang perjuangan bangsa. Tanggung jawab menjaga kedaulatan dan persatuan Indonesia ada di tangan mereka,” pungkas Prof. Singgih.(Ac)

Posting Komentar