LDII SIDOARJO | Jakarta (13/9). LDII telah menggelar lokakarya nasional di bidang pendidikan dan ekonomi. Hal tersebut dilakukan, agar warga LDII dapat memanfaatkan revolusi industri 4.0, untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pemanfaatan bisnis-bisnis baru, akibat menyatunya komputer, internet, dan teknologi komunikasi

“Penggunaan teknologi digital bukan sekedar alat yang dipasang lalu dipakai, tapi juga merupakan sinergi antara perangkat keras, dengan struktur dan kultur. Teknologi yang digunakan seorang diri tidak terasa kegunaannya, tapi jika dalam satu komunitas, maka akan sangat berguna,” ujar Ketua Panitia Pengarah (SC) Prasetyo Sunaryo sekaligus Ketua DPP LDII.

Masalah kultur menjadi penting, sebab secanggih apapun teknologi tanpa perubahan kultur atau karakter, hak tersebut mengakibatkan teknologi menjadi tak berfaedah, “Misalnya, ada pesan penting dalam Whatsapp yang masuk, lalu diabaikan karena memiliki budaya menunda,” ujar Prasetyo.
 
Hal ini diungkapkan oleh Prasetyo Sunaryo, mengawali acara Lokakarya Nasional 2019 yang kembali lagi digelar di Gedung DPP LDII, Jakarta (12/9). Ia berpendapat, dalam ormas yang memiliki struktur seperti LDII, lokakarya ini bermanfaat membahas bagaimana teknologi dapat berguna dalam bidang ekonomi dan pendidikan.

Pada perhelatan acara hari pertama pada Selasa (10/9) lalu lokakarya membahas digital ekonomi yang melibatkan pegiat ekonomi, pengusaha, dan pemerhati bidang keuangan, pemasaran, serta produksi. Pada hari pertama, Duta Besar Singapura Anil Kumar, berbagai mengenai pemanfaatan teknologi di Singapura, lalu di hari ketiga, pada Kamis (12/9), Kepala Pusat Teknologi, Komunikasi, dan Informasi, Gogot Suharwoto sebagai keynote speaker yang membahas ‘Pendidikan di Era Digital’.

Lokakarya nasional hari ketiga, dihadiri oleh para tenaga pendidik, pengajar, perwakilan yayasan pendidikan, kepala sekolah, serta pamong pendidikan. Di depan kurang lebih 200 peserta lokakarya, Ketua Umum LDII, Abdullah Syam memperkenalkan tim ECH (Education Clearing House) yang sebelum lokakarya nasional ini diadakan, telah membuat diskusi terpumpun (FGD) untuk merumuskan output bidang pendidikan. Berupa panduan kurikulum, panduan masalah anak didik, serta kelembagaan pendidikan.

ECH merupakan salah satu usaha LDII, berkontribusi di bidang pendidikan dengan fokus menciptakan sumberdaya yang profesional religius. Selama ini yang dilakukan LDII adalah proses membina dari tingkat usia dini hingga mahasiswa, “Dengan perkembangan era digital, kami berupaya untuk memanfaatkan teknologi informasi guna meningkatkan kualitas pendidikan, yakni dengan pembinaan pendidikan berbasis digital,” ujar Ketua Umum DPP LDII Prof Dr KH Abdullah Syam, Msc.

Dalam sambutannya, Gogot Suharwoto juga berpendapat, bahwa pendidikan bisa bertahan dan bersaing kuncinya ada pada guru. “Guru harus bisa memahami, karakteristik anak didik sekarang secara genetik berbeda dengan para orangtua,” ujarnya

Mengutip World Economic Forum, ia memaparkan industri 4.0 memiliki risiko melahirkan terminologi baru. Gambarannya, jika dulu pekerjaan produsen dan konsumen terpisah, maka sekarang konsumen bisa mengerjakan pekerjaan produsen. “Contoh dari pesan tiket pesawat saja, lalu saat boarding pass, hingga naik ke pesawat, beberapa pekerjaan sudah hilang. Sudah bisa ditangani oleh penumpang itu sendiri lewat teknologi,” kata Gogot.

Internet of Things, informasi yang dimiliki dari internet, itu bisa menggerakkan semua orang. Lalu adanya Big Data, dalam pendidikan, dimanfaatkan oleh Kementerian Pendidikan untuk  mendata setiap siswa diberi nomor induk siswa, lalu dimasukkan dalam data pokok pendidikan atau DAPODIK. Data ini nantinya diolah dan ditampilkan dalam bentuk laporan evaluasi bagi siswa tersebut. Ini adalah sebagian kecil proses pemanfaatan teknologi dalam pendidikan.

“Para guru harus melakukan perubahan. Pemberdayaan teknologi ini jika dipakai dalam kelas, sudah pasti menarik minat anak didik,” kata Gogot melanjutkan. Menurutnya, anak-anak masa kini secara garis besar butuh kebebasan mengekspresikan diri, yang sayangnya hal itu tidak didapat di sekolah. Ia menekankan, ini menjadi tugas guru yang siap mengintegrasikan teknologi dalam kelas.

Gogot menambahkan, dalam Teachers Competition Network di San Fransisco, pengujian guru dibagi dalam empat level; Literasi Teknoligi Informasi Komunikasi (TIK), Pendalaman Pengetahuan, Kreasi Pengetahuan, dan Berbagi Pengetahuan. Dari sekitar 2.000 lebih guru yang mengikuti, sekitar 40 persen guru lulus di tahap pertama yaitu Literasi TIK, dan pada tahap kedua sebanyak 12 persen mendalami pengetahuan ICT, sedangkan pada tahap ketiga dan keempat hanya sekitar 8 persen guru yang bisa melampaui tes tersebut.

Di Indonesia, pemerintah menetapkan lewat Peraturan Kementerian Nasional No. 22 Tahun 2007, bahwa guru diwajibkan untuk memanfaatkan teknologi untuk pengembangan diri, efisiensi, dan efektivitas pembelajaran. Dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru mampu menerapkan teknologi yang terintegrasi sistematik dan efektif.

Terakhir Gogot menyampaikan, sikap dan perilaku pengajaran guru dalam kelas yang tadinya bergaya instruksi, perlu diubah dengan cara konstruksi. “Guru perlu empowered. Agar pemahaman anak-anak didiknya terbangun, constructed. Sistem penilaian pun berubah, dari yang single path jadi multiple path,” pungkas Gogot.

Sejak tahun 2007 hingga dibentuknya kurikulum tahun 2013, guru sudah diarahkan memiliki kompetensi memanfaatkan teknologi untuk pengajaran. Minimal mampu membuat konten pembelajaran berbasis teknologi.

Guru juga harus memperhatikan prinsip mampu menerapkan teknologi yang terintegrasi, sistematis, dan efektif. Walaupun demikian, teknologi tetaplah alat. Agar siswa-siswa di era milenial mampu bekerja sama dan termotivasi, guru memiliki peran yang penting.

Untuk mengakomodir hal itu, Kemendikbud memiliki platform digital berupa Rumah Belajar. Di dalamnya terdapat konten audio visual yang dapat diunggah oleh para pakar pendidik.  Contohnya adalah simulasi pembelajaran,

Di waktu yang sama, LDII melaunching Pondok Belajar Profesional Religius yang bisa diakses di Pondokbelajar.ldii.or.id. Platform digital ini mengakomodasi para pelaku dan pakar pendidikan dilingkungan LDII  seperti guru, mubaligh mubalighot, orang tua, pamong, yayasan, hingga ketua pesantren.

Gogot Suhartowo pun berharap, platform ini dapat bersinergi dengan platform Rumah Belajar Kemendikbud. Soal kerjasama, ia sangat terbuka  karena pada dasarnya, Rumah Belajar Kemendikbud pun berbasis APBN yang berasal dari rakyat, “Jika LDII mau mengadaptasi konten yang ada, kami punya 40.000 konten audio visual. Kami juga akan memberikan pelatihan pada guru-guru LDII,” ujarnya

Pembukaan Lokakarya Nasional


Lokakarya Nasional yang digelar oleh DPP LDII dihelat di aula Kantor DPP LDII di Patal Senayan. Lokakarya yang diikuti sekitar 200 peserta perwakilan dari Aceh hingga Papua dan negara tetangga, dihadiri oleh Kedubes Singapura, perwakilan dari Kementerian Koperasi dan UKM RI, perwakilan tim Gapura Digital Google Indonesia, serta pakar ekonomi, pendidikan, dan praktisi digital lainnya.

Dalam pidato sambutannya, Ketua Panitia Pengarah (SC) sekaligus Ketua DPP LDII Prasetyo Sunaryo mengatakan, hanya sekitar delapan persen orang yang dapat menghasilkan smart society dari sebuah smartphone. Artinya, penggunaan smartphone dengan sebenar-benarnya sebagai sarana digital teknologi yang menghasilkan digital intelligence.

Sebuah struktur dari ormas, sejatinya dapat lebih cepat kontribusi dengan pemanfaatan digital teknologi. Hal ini adalah bentuk sederhana integrasi antara struktur dan kultur. Sebagai contoh, jika sebuah keputusan dulu ditentukan berdasarkan pengalaman, kali ini dalam era digital sistem keputusan didukung dengan basis data digital.

Pada pengembangannya, melahirkan sebuah Big Data sehingga implikasinya harus mampu membuat sistem manajemen data, infrastruktur data. “Paling sederhana contohnya adalah manajemen data, dengan pengembangan perangkat lunak (software development), pengembangan model, dan presentasi model data oleh para pegiat digital,” kata Prasetyo. “Wujudnya nanti Artificial Intelligence (AI), dengan sistem pengamanan data tinggi,” tambahya lagi

Sekarang timbul lagi isu bagaimana teknologi struktur dan kultur dengan hambatan yang ada pada budaya masyarakat Indonesia. Misal, terlambat saat membuka pesan (unresponsive) hal ini terkait kebiasaan seseorang, maka artinya kultur atau budaya seseorang bisa menghambat atau memajukan teknologi. Inilah pentingnya pendidikan digital untuk setiap orang sekarang.

Menanggapi hal tersebut, Anil Kumar dari Kedubes Singapura juga menambahkan, “Apakah teknologi yang harus pintar atau orang-orangnya yang pintar, maka manusia-lah yang harus kick up dengan teknologi.” Digital literasi pada masyarakat umum atau di banyak negara tidak tergali dengan baik. Tidak menggunakan teknologi untuk pendidikan, sejak dini misalnya.

Sementara hal itu menjadi penting bagi kelangsungan pendidikan. Di Singapura ia mencontohkan, sejak dini anak (usia Taman Kanak-Kanak) diajari bahasa pemrograman atau coding, sehingga tidak takut menghadapi kemajuan digital. Anil menekankan, “Focus how to make people smart.”

Kecepatan perubahan yang sekarang jauh lebih cepat. Antara kecepatan dengan masalah yang muncul itu seolah terburu-buru. Tidak heran timbul disrupsi teknologi. “Manage the technology, jangan teknologi yang mengendalikan kita, ini adalah salah satu fokus penting,” kata Anil. Adanya disrupsi atau gangguan berimbas juga pada bidang ekonomi, bisnis, dan lainnya.

“Bisa jadi banyak pekerjaan akan hilang akibat disrupsi, misalnya ahli hukum tanpa bantuan teknologi, bisnis mereka tidak akan berjalan begitu saja jika hanya membantu penyelesaian masalah penjualan tanah atau rumah,” kata Anil.

Ia juga mengatakan, “Sedikit berbagi ilmu, penekanan di Singapura tidak terfokus pada melindungi sebuah pekerjaan, tapi melindungi pekerja. Karena pekerja bisa diberi ilmu untuk pekerjaan baru, malah bisa jadi kehidupan lebih baik daripada yang dahulu.”  [a/*]

Posting Komentar